0


JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai PT Pertamina (Persero) meraup keuntungan sangat besar dari penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi baik jenis premium maupun solar.



"Masalah utama penjualan BBM oleh Pertamina yang lebih mahal ini karena mereka tidak pernah terbuka. Berapa cost-nya dan berapa untungnya. Jadi ini keterlaluan, Pertamina jual BBM di SPBU malah mahal, sementara yang dijual di perusahaan harga BBM-nya ada potensi untuk dijual lebih murah," jelasnya di Jakarta.

Dia menerangkan harga murah yang diterima oleh perusahaan, selain harga minyak dunia yang sedang anjlok juga disebabkan tidak adanya bea masuk membeli dari negara tetangga. Lantaran berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), semua produk dari negara ASEAN lain termasuk minyak tidak lagi dikenai bea masuk.

"Sekarang ketika harga minyak dunia anjlok, potensi kebocoran minyak di tengah jalan untuk dikirim ke luar juga kecil karena memang harganya sedang turun," sambungnya.



Menurut Dia, untuk solar sendiri saat ini tidak lagi disubsidi karena harganya terus menurun. Tapi dijelaskannya terkadang Pertamina dan juga pemerintah lambat melakukan penurunan ketika harga minyak dunia terus merosot. Berbeda jika harga minyak dunia naik malah cepat merespon untuk segera naik.

"Pemerintah dan Pertamina tidak tegas mengatur penurunan harga. Padahal kita sudah tidak lagi disubsidi. Apalagi minyak terus melorot di bawah USD40 per barel. Angka itu jadi patokan asumsi pemerintah, jika di atas USD40 baru disubsidi," tandasnya.

 
Pertamina (Persero) dinilai meraup banyak untung dari penjualan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ataupun non subsidi di tengah tren pelemahan harga minyak mentah dunia yang saat ini sudah bergerak di bawah USD30 per barel. Direktur Lingkar Studi Strategis (Lingstra) Iqbal Nusantara mengatakan tidak terima bila Pertamina beralasan selalu rugi, sehingga tidak menurunkan BBM.

Menurutnya Pertamina beralasan  untuk menutupi kerugian di sektor hulu migas, karena untuk mendapatkan 1 barel minyak di Indonesia, modal dibutuhkan antara USD22-USD24 per barel. “Kerugian di sektor hulu itu bukan urusan rakyat. Sebagai sebuah Perusahaan besar semestinya Pertamina tahu betul langkah yang harus diambil supaya tidak terjadi kerugian,” jelasnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/1/2016).

Dia menambahkan BBM sebagai salah satu kebutuhan hajat hidup orang banyak, sudah selayaknya diberikan dengan harga yang tidak terlampau mahal. “BBM itukan barang PSO, tidak boleh Pertamina meraup untung banyak dari rakyat,” tandasnya.

Sementara itu hal senada juga diungkapkan Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri yang menurutnya pemerintah harus bertanggung jawab karena mengizinkan PT Pertamina (Persero) mengambil banyak keuntungan.

“Jangan salahkan Pertamina karena yang menentukan itu bukan Pertamina tapi yang membuat formula itu yaitu pemerintah, bukan Pertamina. Ini saatnya membunuh Premium itu untuk kita pindah ke Pertamax dengan harga yang lebih murah dari Premium sekarang," jelas Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas hari ini.

PT Pertamina (Persero) dinilai meraup banyak untung dari penjualan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ataupun non subsidi di tengah tren pelemahan harga minyak mentah dunia yang saat ini sudah bergerak di bawah USD30 per barel. Direktur Lingkar Studi Strategis (Lingstra) Iqbal Nusantara mengatakan tidak terima bila Pertamina beralasan selalu rugi, sehingga tidak menurunkan BBM.


Merosotnya harga minyak mentah dunia menurut peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Mohammad Reza Hafiz semestinya diiringi dengan penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh PT Pertamina (Persero). Dia juga menjelaskan secara kalkulasi harga BBM pada masyarakat dijual dengan harga yang tidak wajar.

Dibandingkan dengan dengan negara tetangga misalnya Malaysia, Dia menerangkan harga solar Indonesia dengan kualitas di bawah solar Malaysia harganya masih lebih mahal. Per Januari ini harga solar Malaysia ada di kisaran (konversi ringgit ke rupiah) Rp5.200 sedangkan solar subsidi di Tanah Air Rp5.650 per liter dan non -PSO Rp8.050 per liter

“Dari segi sektoral, memang solar yang jadi bahan baku industri saat ini sudah seharusnya turun agar industri manufaktur tetap bisa tumbuh untuk menyokong perekonomian yang disertai penyerapan tenaga kerja. Namun yang terjadi banyak permainan harga,” ungkapnya kepada wartawan, Jumat (22/1/2016).



Dia menambahkan, harga untuk jenis solar saat ini sudah menyentuh harga USD40 per barel, yang artinya jika dirupiah dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500/liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak). Menurutnya harga solar non subsidi di Indonesia semesetinya berkisar di harga Rp4.370-Rp4.500 per liter.

Sementara sebelumnya Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri juga menyoroti mahalnya harga BBM di Indonesia. "Kita tidak seluruhnya menikmati (penurunan harga minyak dunia), karena walaupun sudah diturunkan harga premium itu sekarang Rp7.050. Jadi yang paling besar untungnya Pertamina," jelasnya.




Mungkin masalah harga itu tidak terlalu penting bagi orang-orang kaya, tapi bagi masyarakat menengah kebawah/miskin hal itu sangatlah penting bagi kehidupan mereka. Karena dengan penurunan harga mereka agak bernafas lega dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti membeli bensin & Gas/LPG dengan harga yang lebih terjangkau. Sedangkan penurunan harga minyak dunia saat ini tidak sangat disayangkan oleh masyarat menengah kebawah/miskin yang menilai Pertamina meraup keuntungan besar diatas penderitaan rakyat. Harusnya pemerintah lebih memperhatikan/mengutamakan kesejahteraan masyarakat menengah kebawah/miskin daripada mengutamakan kepentingan pengusaha pengelolah kebutuhan gas & minyak.


Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan baik & sopan

[NEWS][combine][animated][100]

[SHARING2INFORMATIONS][horizontal][animated][50]

[MARI BERBAGI ILMU & PENGETAHUAN][RECENT][animated][100]

 
Top
//