Jepang memiliki program nuklir sipil paling maju diantara semua negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Menurut NBC News, Tokyo memiliki 9 ton plutonium yang ditimbun di berbagai tempat terpisah di seluruh Jepang, dan 35 ton plutonium lainnya disimpan di berbagai negara di Eropa.
Sementara itu, hanya sekitar 5 sampai 10 kilogram Uranium yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir. Jepang juga memiliki tambahan 1,2 ton uranium yang diperkaya dan membangun reaktor penghasil plutonium secara cepat di Rokkasho yang mampu menghasilkan 8 ton plutonium per tahun.
Banyak para ahli meyakini bahwa Jepang, jika mau, bisa menghasilkan senjata nuklir dalam waktu 6 bulan. Beberapa pengamat meyakini bahwa Tokyo sedang mengejar strategi “hedging nuklir”, strategi asuransi penyeimbang bagi kekuatan nuklir China. Jepang sendiri tidak berupaya meredakan kekhawatiran ini.
Bahkan, lebih sering mengindikasikan kemampuan jaminan nuklir mereka seperti yang disampaikan seorang pejabat Jepang baru-baru ini secara off the record bahwa “Jepang sudah memiliki kemampuan teknis [untuk membangun senjata nuklir] sejak tahun 1980-an.” Hal ini semakin memperkuat keyakinan akan sedang terjadinya nuclear hedging strategy oleh negara -yang resminya- tidak memiliki senjata pemusnah masal nuklir.
Memiliki “bom tersembunyi” adalah upaya Jepang menghadapi kebangitan militer China. Dengan menghidupkan kekhawatiran Beijing bahwa Jepang dapat membangun senjata nuklir, Tokyo berharap untuk menahan China untuk tidak gegabah meningkatkan ketegangan bilateral.
Walau merupakan negara yang termasuk negara peserta Nonproliferasi Nuklir, namun teknologi nuklir sendiri bukanlah hal asing bagi Indonesia. Negara kita telah mulai mengenal teknologi ini sejak tahun 1954 dengan pendirian Panitita Negara untuk Penyelidikan Radioaktivet.
Pada Desember 1958 dibentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Saat ini PT Batan Teknologi (Batantek) mampu melakukan pengembangan produk radio isotop atau kedokteran nuklir. Produk turunan teknologi nuklir ini sudah mulai diekspor ke Cina dan Jepang bahkan akan diperluas pasarnya hingga Amerika Serikat.
Wacana membangun PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia selalu menimbulkan polemik di berbagai kalangan masyarakat. Sebagian beralasan bahwa Indonesia yang terletak di Ring of Fire sangat rentan terhadap bencana alam dan PLTN di lokasi bencana akan menimbulkan bencana tambahan seperti yang terjadi di Fukushima Jepang. Namun sebagian mengatakan bahwa tidak semua wilayah Indonesia adalah daerah rawan bencana dan banyak wilayah Indonesia yang relatif aman dari potensi bencana alam dan potensial untuk dijadikan lokasi PLTN dan mengatasi krisis energi di dalam negeri.
Hasil kajian studi lapak dan studi kelayakan pembangunan PLTN di Pulau Bangka selama tiga tahun menetapkan bahwa Pulau Bangka sangat layak menjadi daerah pembangunan PLTN. Selain itu, Peneliti Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN), Erni Rifandriyah Arief, mengatakan bahwa kekayaan alam di Pulau Bangka terutama kandungan logam tanah jarang dalam mineral ikutan timah, terutama monazite sangat banyak. Dan jika PLTN jadi dibangun maka bahan baku tidak sulit diperoleh.
Selain nilai ekonomi dari penguasaan berbagai teknologi nuklir, ada juga nilai strategis pertahanan dan politik luar negeri dari penguasaan teknologi ini terutama dalam hal pengayaan Uranium. Perbedaan weapon grade uranium dengan bahan baku untuk PLTN hanyalah dalam hal level pengayaannya. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memperkirakan terdapat cadangan 70.000 ton Uranium di Indonesia.
Penguasaan teknologi pengayaan uranium (BATAN) dan teknologi roket (LAPAN) akan memberikan efek deterrence strategi hedging nuklir seperti yang saat ini dimiliki Jepang walau kita tetap merupakan negara anggota Nonproliferasi Nuklir. Kita tidak akan dikucilkan komunitas dunia, namun tetap mempunyai daya tawar besar agar tidak begitu saja ditindas merasa terancam oleh negara-negara pemilik persenjataan nuklir.
Sementara itu, hanya sekitar 5 sampai 10 kilogram Uranium yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir. Jepang juga memiliki tambahan 1,2 ton uranium yang diperkaya dan membangun reaktor penghasil plutonium secara cepat di Rokkasho yang mampu menghasilkan 8 ton plutonium per tahun.
Bahkan, lebih sering mengindikasikan kemampuan jaminan nuklir mereka seperti yang disampaikan seorang pejabat Jepang baru-baru ini secara off the record bahwa “Jepang sudah memiliki kemampuan teknis [untuk membangun senjata nuklir] sejak tahun 1980-an.” Hal ini semakin memperkuat keyakinan akan sedang terjadinya nuclear hedging strategy oleh negara -yang resminya- tidak memiliki senjata pemusnah masal nuklir.
Memiliki “bom tersembunyi” adalah upaya Jepang menghadapi kebangitan militer China. Dengan menghidupkan kekhawatiran Beijing bahwa Jepang dapat membangun senjata nuklir, Tokyo berharap untuk menahan China untuk tidak gegabah meningkatkan ketegangan bilateral.
Walau merupakan negara yang termasuk negara peserta Nonproliferasi Nuklir, namun teknologi nuklir sendiri bukanlah hal asing bagi Indonesia. Negara kita telah mulai mengenal teknologi ini sejak tahun 1954 dengan pendirian Panitita Negara untuk Penyelidikan Radioaktivet.
Pada Desember 1958 dibentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Saat ini PT Batan Teknologi (Batantek) mampu melakukan pengembangan produk radio isotop atau kedokteran nuklir. Produk turunan teknologi nuklir ini sudah mulai diekspor ke Cina dan Jepang bahkan akan diperluas pasarnya hingga Amerika Serikat.
Wacana membangun PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia selalu menimbulkan polemik di berbagai kalangan masyarakat. Sebagian beralasan bahwa Indonesia yang terletak di Ring of Fire sangat rentan terhadap bencana alam dan PLTN di lokasi bencana akan menimbulkan bencana tambahan seperti yang terjadi di Fukushima Jepang. Namun sebagian mengatakan bahwa tidak semua wilayah Indonesia adalah daerah rawan bencana dan banyak wilayah Indonesia yang relatif aman dari potensi bencana alam dan potensial untuk dijadikan lokasi PLTN dan mengatasi krisis energi di dalam negeri.
Selain nilai ekonomi dari penguasaan berbagai teknologi nuklir, ada juga nilai strategis pertahanan dan politik luar negeri dari penguasaan teknologi ini terutama dalam hal pengayaan Uranium. Perbedaan weapon grade uranium dengan bahan baku untuk PLTN hanyalah dalam hal level pengayaannya. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memperkirakan terdapat cadangan 70.000 ton Uranium di Indonesia.
Penguasaan teknologi pengayaan uranium (BATAN) dan teknologi roket (LAPAN) akan memberikan efek deterrence strategi hedging nuklir seperti yang saat ini dimiliki Jepang walau kita tetap merupakan negara anggota Nonproliferasi Nuklir. Kita tidak akan dikucilkan komunitas dunia, namun tetap mempunyai daya tawar besar agar tidak begitu saja ditindas merasa terancam oleh negara-negara pemilik persenjataan nuklir.
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik & sopan